The Holy Bible

WELCOME

Jumat, 17 April 2015

NAMANYA VINO by cerpenmu.com/cerpen.of.the.month


BILL LAUDRIX

Namanya Vino


 

Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 5 January 2015
Aku pikir semuanya akan berakhir indah. Tapi aku salah. Aku terlalu bernafsu mendahului keputusan Tuhan.
“Aaaaaa!” aku berusaha mengeluarkan semua beban di hati ini.
Aku menghela napas panjang. Aku terdiam sesaat. Aku masih tidak mengerti kenapa semuanya terjadi di luar dugaan dan parahnya semua berakhir dengan begitu menyedihkan. Aku mengambil beberapa buah batu yang ada di sekitarku kemudian melemparkannya ke kolam satu demi satu.
“Buat lo yang udah khianatin gue!” “PLUK!” batu pertama aku lempar dengan sekuat tenaga.
“Buat lo yang udah bikin orangtua gue kecewa!” “PLUK!” begitu juga dengan batu kedua aku lempar dengan sekuat tenaga.
“Buat lo yang.. yang..” aku menghela napas lagi.
“Yang apa?” kata seseorang tiba-tiba. Aku terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu. Pria yang berkulit putih, berhidung mancung dan berambut hitam lurus itu duduk di sebelahku. Aku memperhatikannya dengan seksama. Dia memandang ke arah kolam. Tiba-tiba dia menutup matanya. Dia menikmati gemericik air yang berasal dari air mancur di tengah kolam. Dia menghirup udara segar. Tampak damai sekali. Dia membuka matanya. Ups! Aku langsung memalingkan wajah. Tentunya aku malu kalau dia sampai mendapatiku sedang memperhatikannya.
“Ayo dong kamu coba juga” katanya.
Aku menoleh ke arahnya. Aku menunjukkan ekspresi kalau aku tidak berminat.
“Ayo! Pejamkan mata kamu dan nikmati udara segarnya” pria itu berlagak memerintah.
“Penting ya?” aku yang sedikit merasa terusik dengan kedatangan dan permintaan konyolnya itu menjadi sedikit kesal.
“Ayolah. Sekali aja” pria itu memaksa.
Dia memejamkan matanya sekali lagi. Menghirup udara bebas lagi, dan sangat menikmatinya. Akhirnya, aku pun tergerak untuk mencoba. Aku mulai memejamkan mataku. Aku menghirup udara segar seperti yang dilakukan pria itu. Aku menghirupnya lebih dalam. Bahkan aku bisa mencium wangi berbagai bunga yang ditanam di sekitar taman. Padahal sedari tadi aku tidak menyadari bau wewangian yang menyegarkan itu. Suara gemericik air semakin menambah kedamaian yang sedang aku rasakan. Nyaman sekali. Aku mengulanginya berkali-kali sampai akhirnya aku membuka mataku lagi.
“Enak kan?” sahutnya kepadaku yang baru saja membuka mata. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Pria ini benar-benar pandai membawa suasana.
“Undangan pernikahannya bagus. Perpaduan warna yang manis dengan kesan mewah” dia mengambil sebuah undangan pernikahan berwarna merah muda dengan dominasi silver yang berada di atas tasku.
“Tapi nggak semanis kenyataannya”
“Maksudnya?” kali ini pria itu berlagak menyelidik.
“Itu undangan pernikahanku. Seharusnya hari ini aku menikah. Tapi ya beginilah kenyataannya. Padahal persiapan sudah hampir selesai. Undangan itu juga sudah siap dibagi. Tapi lelaki itu menghancurkan semuanya. Sejak awal, hubunganku dan dia tidak direstui oleh orangtuanya. Orangtuanya sudah mempunyai pilihannya sendiri. Sebenarnya aku ragu melanjutkan hubungan ini. Orangtuaku berkali-kali menanyakan apakah aku yakin dengan pilihanku. Tapi aku melihat kesungguhannya memperjuangkan hubungan kami. Aku pun menjadi yakin untuk meresmikan hubunganku dengannya. Tapi setelah itu, kejadian yang tidak pernah kuduga terjadi. Ayahnya sakit keras. Dia takut kalau sampai akhir hayat Ayahnya dia belum sempat membahagiakannya. Menurutnya, saat itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk membahagiakan Ayahnya adalah dengan menuruti permintaan Ayahnya. Dimana Ayahnya ingin dia menikah dengan wanita pilihannya. Dia bilang dia sudah menjelaskan kalau sebentar lagi dia akan menikahiku. Tapi Ayahnya memberikan pilihan yang sulit. Aku atau Ayahnya. Akhirnya dia lebih memilih Ayahnya dengan kata lain bahwa dia lebih memilih bersanding dengan wanita itu. Hal yang membuat aku hancur adalah kenapa semuanya harus terjadi ketika sudah sejauh ini? Kami hampir berhasil menyeberangi rintangan kami. Tapi ternyata dia membiarkan aku melewati sisa rintangan itu sendiri. Dia memilih jalan yang lebih aman bersama wanita itu daripada melewati jalan yang penuh rintangan bersamaku” pipiku mulai basah oleh air mata yang tak terasa semakin bertambah deras.
“Bayangin deh kalau kamu ada di posisi dia. Kamu bakal pilih dia atau Ayah kamu?” aku terenyak mendengar pertanyaan itu.
“Bayangin kalau seandainya saat ini kamu menikah sama dia. Perasaan Ayahnya pasti kecewa kan? Artinya kamu sudah membiarkan suami kamu sendiri menjadi anak durhaka. Kamu juga menyandang status menantu yang durhaka. Belum apa-apa sudah membuat Ayah mertuamu kecewa” pernyataan pria itu semakin membuat aku membisu dalam tangis.
“Kamu tau nggak, kenapa calon suami kamu membiarkan kamu melewati sisa rintangan kamu sendiri? Karena dia tahu setelah kamu berjalan dan berhasil melewati rintangan itu kamu akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang melebihi apapun. Bahkan aku yang baru kenal kamu aja yakin kamu akan mendapatkan kebahagiaan di ujung jalan yang penuh rintangan itu. Walaupun aku nggak tau seperti apa bentuk kebahagiaan itu. Kamu tahu caranya mendapatkan kebahagiaan itu? Kamu harus ikhlas. Ikhlas dengan semua kejadian yang kamu alami. Kamu boleh berencana, tapi ingat Tuhan tetap perencana yang paling hebat. Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih indah. Intinya, mulai sekarang kamu harus belajar mengikhlaskan semuanya dan kamu harus yakin kalau Tuhan pasti akan selalu memberikan yang terbaik” apa yang dikatakan pria itu memang benar.
Aku tidak seimbang dalam melihat keadaan. Aku hanya melihat kejadian yang aku alami dari sisi negatif saja. Semua kata yang terucap dari bibir pria itu benar-benar membuatku tenang dan mebuatku sadar akan semuanya. Membuatku sadar kalau aku masih punya Tuhan. Air mataku pun berhenti mengalir hanya saja masih sesenggukan.
“Masih butuh bahu untuk menangis?” pria itu menawarkan bahunya untuk bersandar. Benar-benar pria yang pengertian, ujarku.
“Nggak. Terima kasih” aku menolak secara halus. Aku baru pertama kali bertemu pria ini dua puluh menit yang lalu. Tentu saja aku tidak boleh sembarangan. Walaupun rasanya ingin sekali menyenderkan kepalaku yang terasa berat ini pada bahunya yang bidang. Mungkin akan terasa sangat nyaman.
Aku mencoba mencari tissue di dalam tas untuk mengeringkan sisa air mataku. Ah! Ternyata tidak terbawa. Aku pun hanya mengusap sisa air mataku menggunakan tangan.
“Pakai ini, Vionita” pria itu memberikan sehelai sapu tangan berwarna cokelat muda. Aku pun dengan senang hati menerimanya. Lalu segera mengeringkan pipiku yang masih basah menggunakan sapu tangan itu.
“Ngomong-ngomong kamu tau namaku darimana?” dari dua puluh menit yang lalu, aku merasa belum sempat memperkenalkan diri karena terlalu larut dalam cerita yang sebenarnya tidak patut aku ceritakan. Pria itu hanya menunjukkan namaku pada undangan pernikahan yang ia pegang sejak tadi.
“Oh iya aku lupa” aku tersenyum malu.
“Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya. Semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu. Oh iya, kamu cantik kalau senyum” pria misterius itu bangkit dari tempat duduk dan mulai melangkah pergi meninggalkanku yang masih terdiam di bangku taman. Tapi entah kenapa ada perasaan tidak rela ketika pria itu pergi.
“Tu.. Tunggu! Siapa nama kamu?” bodohnya aku belum sempat menanyakan namanya.
“Ada di undangan pernikahan kamu!” pria itu berteriak dari kejauhan.
“Terima kasih ya!” aku pun sampai lupa mengucapkan terima kasih pada pria yang telah berbaik hati mendengarkan semua cerita pilu tentangku. Dia hanya membalas dengan acungan ibu jari.
Sebenarnya aku bingung dengan jawaban pria itu. Kenapa jawabannya ada di undanganku? Aku pun segera mengeceknya. Aku membolak-balik undangan itu. “Mana namanya? Apa maksudnya?” gumamku lirih. Lalu aku berinisiatif membuka undangan itu. Tampak coretan di atas nama mantan calon suamiku dan di bawahnya ada sebuah tulisan. “Vino Ariansyah Putra?” aku mencari-cari sosok pria itu. Ternyata dia sudah menghilang. “Jadi namanya Vino” batinku. Oh iya! Aku baru sadar kalau nama calon pengantin dalam undangan itu kini berubah menjadi Viona Putri dan Vino Ariansyah Putra. Kapan dia melakukan ini semua? Ada-ada saja ulahnya. “Eh! Nama kita juga mirip” batinku senang. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Vino, sesosok pria misterius itu berhasil membebaskanku dari belenggu kisah sendu. Kedatangannya yang tiba-tiba, lalu mengajakku relaksasi, mendengarkan ceritaku, memberikan nasihat bijak, memberikan sapu tangan, sampai mengganti nama mantan calon suamiku dengan namanya, semua itu mengukirkan kenangan singkat yang sangat manis dan penuh makna. Aku akan sangat bahagia jika suatu saat aku dipertemukan lagi dengan Vino. Apalagi kalau sampai dia adalah pria yang dikirimkan Tuhan sebagai pengganti yang sesungguhnya akan menjadi jodohku seperti apa yang dia tulis di undangan pernikahan itu. “Semoga saja ya Vino” gumamku penuh harap.
Cerpen Karangan: Merida Hani Pratiwi
Facebook: Merida Hani Pratiwi

JEJAK KEMAYIAN DI LORONG SEPI by cerpenmmu.com/cerpen.of.the.month

Jejak Kematian di Lorong Sepi




Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 23 February 2015
Di lorong gelap, sepi dan dingin, tubuh kaku menelungkup itu menyeruakkan bau amis darah yang mengalir dari pangkal lehernya. Luka terkuak lebar hingga hampir memisahkan kepala dengan tubuh. Cairan kental berwarna merah tergenang di sekitarnya. Burung gagak hitam, memandang awas dari puncak pohon meranggas di luar lorong. Menjeritkan kicau parau mengabarkan kematian.
Musim hujan makin menggila di akhir tahun begini. Bisa-bisa hujan turun seharian penuh tanpa jeda. Berdiam di rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan hari. Namun tidak bagiku, tepatnya tidak mungkin bagiku. Sebagai wartawan lepas untuk sebuah media massa on line, keluar rumah merupakan pilihan satu-satunya untuk mendapatkan berita terbaru dan terhangat langsung dari tempat kejadian. Semua bisa jadi berita bagiku sebab tidak ada berita, artinya tidak ada makanan.
Hujan yang turun sejak malam tadi mengakibatkan pagi ini menjadi dingin sekali. Sulit untuk menyentuh air tanpa merinding, cuci muka keputusan terbaik dari pada tidak sama sekali. Secangkir teh yang kubuat sebelum membasuh wajah di kamar mandi, masih mengepulkan asapnya. Cepat-cepat kusesap hingga rasa panas memeluk dada. Wuaahh, hangat sekali. Kutuntaskan teh pagiku dengan jantan, lalu cekatan tanganku menggamit jas hujan di atas rak. Mengenakannya dan membuka pintu rumah petak yang kusewa dari setahun yang lalu ini.
Saat pintu membuka, angin hujan menebas wajahku. Tak mau kalah, tubuhku pun lalu menghentak keluar menebas hujan berirama teratur ini, sebuah tanda bahwa hujan ini akan berlangsung lama. Jas hujan menutupi tubuh dan ranselku yang menggunung di punggung. Aku mungkin tampak seperti alien dari galaksi gulaguli. Bulir-bulir air hujan sudah sukses menggerayangi seluruh permukaan jas hujan milikku.
Mega, seorang kolegaku yang cantik jelita subuh tadi menelponku, kupikir ia ingin menyatakan cintanya padaku, karena malam itu aku baru saja bermimpi tentangnya, namun angan picisanku itu segera dipagut suaranya yang meninggi dan penuh antusias mengabarkan ada mayat pria ditemukan berdarah-darah di lorong yang menembus perut bukit, bekas rel kereta api jaman Belanda di sudut kota. Tempat itu sudah mati sejak lama, jarang dilalui orang-orang. Pengunjungnya hanyalah segelintir anak muda yang mencari tempat untuk menghisap s*bu-s*bu atau mabuk-mabukan. Sangat cocok untuk membuang mayat atau bahkan melakukan pembunuhan tanpa diketahui orang lain.
Aku sudah melihat Mega dari jauh, dia berdiri berbalut mantel hitam dan bernaung payung lebar merah marun. Matanya yang sendu dan penuh binar indah segera mendapati aku yang sedang tergopoh ke arahnya.
“Kau terlambat lagi, Amor…,” aku suka sekali dan sungguh bersyukur orangtuaku memberikan nama Amorgio Dunand, sehingga Mega bisa dengan leluasa memanggilku Amor yang berarti ‘cinta’ sepuasnya tanpa harus merasa malu. Dan juga, oke…, sayang sekali, tanpa harus merasakan cinta itu sendiri.
“Maaf, hujan menyenyakkan tidurku hingga berpuluh kali lipat!”
“Kebakaran keliling rumahmu pun tak akan mampu membangunkanmu, dasar tukang tidur. Ayo ke lokasi! Jalan saja lebih baik, hujan begini angkutan umum jarang lewat.”
Sepatu-sepatu kami berkecipak memijak genangan air hujan di sepanjang jalan. Benar, sudah hampir sampai di lokasi begini, belum ada satu pun angkutan umum yang berlalu. Prediksi yang hebat dari Mega. Di lokasi, sudah ada mobil polisi dan ambulan. Aku segera berlari sambil membuka separuh jas hujanku dan membiarkan separuhnya lagi menggantung di sebelah tubuhku. Aku meminta Mega menutupi tasku yang berisi kameraku agar tak kena hujan. Sambil berlari aku berhasil mengeluarkan kameraku, lalu bergegas mendekati lokasi kejadian. Mega ikut berlari memayungiku dari belakang.
Aku berhasil mendapatkan gambar mayat pria itu sebelum akhirnya petugas ambulan mengangkatnya ke dalam ambulan dan membawa jenazah malang itu pergi. Mega menginterview polisi dan beberapa saksi yang pertama kali menemukan mayat pria itu. Seperti biasa, dalam setiap peliputan setelah mendapatkan gambar-gambar yang penting, aku biasanya mencari-cari objek lain di sekitar TKP, mudah-mudahan ada yang unik yang bisa kujadikan koleksi foto.
Aku mengitari lorong menyapu pandanganku ke seluruh lorong beserta langit-langitnya. Lumut dan lukisan graviti usang menghias langit-langit lorong. Menjepret-jepret semua yang kuanggap menarik. Saat aku berjalan lebih jauh ke dalam, melampaui tempat mayat ditemukan, di dinding lorong sebelah kiri agak ke atas, aku menemukan noda merah berukuran lumayan besar.
Aku mendekat, membidikkan lensa kameraku dan menekan tombol zoom. Apa aku tidak salah lihat? Itu adalah jejak kaki darah. Jejak darah berbentuk kaki kanan manusia yang di sisi bawahnya mengakar aliran darah meleleh itu terlihat samar di antara lukisan graviti di dinding lorong. Tampaknya kaki itu tadi menginjak darah dan lalu menginjak dinding ini. Aku menyipitkan mata, dan membidik dengan cermat, menetapkan fokus pada kameraku dan menjepretnya beberapa kali dari berbagai sudut. Aku mencermatinya sekali lagi, ini darah baru, belum kering betul. Kalau pun benar ini jejak manusia, manusia apa yang bisa berjalan dengan cara vertikal seperti ini? Lalu jika memang dia mampu berjalan secara vertikal mengapa jejaknya hanya satu? Mana kaki kirinya? Apakah ia siluman berkaki satu? Lalu apa hubungannya dengan jasad pria itu? Kalau memang saling terhubung mengapa jejak kakinya tidak dimulai dari dimana tubuh pria itu tergolek? Ah…
Aku keluar, menemui Mega yang baru saja mewawancari seorang warga yang mengaku mendengar sebuah jeritan di malam itu dari lorong ini. Aku masih terdiam, memikirkan tentang sebuah jejak kaki darah di dinding lorong. Aku masih menimbang-nimbang apakah ini kulaporkan pada pihak kepolisian, atau kudiamkan saja dan kuselidiki sendiri. Namun, entah bagaimana, sebuah suara dari hatiku mendesakku untuk menyelidiki ini sendiri, lalu nanti kalau sudah berhasil akan menerbitkannya menjadi sebuah berita yang bombastis. Pasti bonus akan mengalir lancar ke kantong keringku ini. Dan sebuah dinner mewah akan kupersembahkan khusus untuk Mega.
“Kau kenapa Amor? Kok diam saja?”
“Tidak apa-apa… Ayo ke café biasa, aku belum sarapan. Kita sarapan dan sekalian kita tulis berita ini. Mungkin hari ini akan ada banyak berita menarik lainnya yang menunggu untuk kita liput.”
“Wuah, bersemangat sekali hari ini, Bung! Santailah sedikit, kita sudah menang dengan berita ini, kau lihat tadi? Tidak ada kan wartawan lain yang meliput? Mereka semua terlambat!! Hahaha…,” Mega melirik pada beberapa wartawan yang baru sampai di lokasi kejadian.
“Wuah, iya aku baru sadar… ayolah, aku sudah lapar!!”
Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi sampai di mejaku, menerbitkan liur. Segera kugamit sendok dan garpu lalu melahapnya ganas. Sementara Mega masih terus saja mengaduk-aduk bubur ayam pesanannya.
“Kenapa Ga?”
“Gak selera…,”
“Kenapa?”
“Hanya orang aneh yang tetap punya selera makan tinggi saat baru saja sedetik yang lalu menyaksikan orang yang hampir putus kepalanya…,” erangnya.
Aku terdiam, tak jadi menelan nasi goreng yang sudah kumamah. Melotot padanya. Dia tergelak dan aku melanjutkan proses penelanan nasi goreng dengan tuntas.
“Maksudmu?”
“Hahahaha… aku bercanda. Ada baiknya aku menulis dulu,” Mega mengeluarkan notebooknya, siap untuk menulis berita pembunuhan penuh misteri itu.
Malam itu hujan mulai mereda, hanya gerimis ringan. Aku merapatkan jaketku, kurasa sebuah jaket sudah cukup untuk gerimis tipis begini. Niatku malam ini adalah kembali ke lorong itu. Menemukan bukti-bukti lain, yang mungkin bisa menguak misteri pembunuhan ini. Sebuah garis polisi melintang di mulut lorong, aku merunduk melampaui pita berwarna kuning itu. Bekas-bekas darah masih dibiarkan utuh, mungkin guna keperluan proses penyelidikan. Seram sekali berada di lorong malam-malam begini, apa lagi tadi, di sini, terbaring mayat korban pembunuhan. Tapi kutepis semua itu, demi menggemukkan rekeningku. Dengan bantuan semburat cahaya tipis dari lampu jalan di luar lorong aku berjalan masuk. Burung gagak tak henti meraung. Menambah nuansa mistis yang mampu menaikkan bulu roma siapa saja.
Aku sudah sampai di sisi dinding di mana jejak itu tadi pagi kutemukan. Aku menggamit senter dari kantong yang memang sudah kupersiapkan sejak tadi. Kusorotkan lampu senter ke sisi dinding. Benar, jejak itu masih ada di sana. Aku menebar sinar senter ke segala arah, berharap menemukan pertanda lain yang bisa membantu investigasiku ini. Tidak ada apa-apa lagi selain lumut dan lukisan graviti pudar. Aku kembali memfokuskan cahaya senter pada jejak darah. Setelah lamatku perhatikan, sepertinya ada yang berubah dari bentuk jejak itu, tumitnya sudah mulai menghilang. Sepertinya ada seseorang yang berusaha menghapusnya dengan sesuatu. Wuah ini menarik!! Siluman, monster atau apa pun itu sadar, bahwa dia telah meninggalkan jejak yang bisa membongkar kejahatannya. Tapi siluman yang bagaimana pula yang takut akan kejahatannya terbongkar? Ini semakin misterius namun semakin menarik. Aku mengeluarkan kameraku dan kembali menjepret jejak itu sebagai dokumentasi dan bukti.
Tring!!! Tiba-tiba otakku menemukan suatu rencana. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Monster pembunuh ini belum selesai dengan pekerjaannya di sini karena suatu hal, pasti ia akan kembali untuk menghapus jejak ini hingga hilang seluruhnya. Dan aku harus bersembunyi di suatu tempat dan siap dengan kamera di tangan. Siap untuk menjepret mahkluk apa pun yang datang untuk menghapus jejak darah itu. Ya, ya… yaa…, kadang-kadang aku cerdas juga.
Setengah berlari aku berlari menuju ujung lorong, di sana ada bekas dinding yang hampir roboh yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi dan bisa memandang bebas ke dalam lorong. Aku jongkok di sebalik dinding, menggenggam kameraku dan memasang telinga dengan baik. Berusaha menangkap suara apa pun yang hadir di kesunyian ini. Hujan yang sudah reda, sungguh membantu aku mendengarkan suara yang ingin kudengar.
Sepuluh menit berlalu, hanya lolongan anjing dan deru kendaraan dari kejauhan yang terdengar. Belum ada tanda-tanda mencurigakan dari dalam lorong. Aku sudah mulai bosan. Perutku sudah berderik-derik kelaparan, aku baru ingat belum makan malam, ah sebegini parahnya kah pekerjaan sebagai detektif itu? Aku bersumpah tak akan mau jadi detektif. Tak sampai semenit kemudian, jantungku menegang, ada suara langkah berderap pelan dari dalam lorong. Itu dia!!!! Ya Tuhaaan… lindungilah hambamu ini. Aku tak tahu kapan harus menjepretkan kameraku ke arah lorong. Tapi instingku berujar nanti saja. Suara derap langkah berhenti, disusul kemudian suara dinding digosok-gosok oleh sesuatu.
Yap!! Ini saatnya kameraku bertugas.
“Jepreeett!!! Jepreett! Jepreett!” lampu blitz menyala-nyala ke dalam lorong. Aku hanya menjulurkan lenganku ke luar tembok ke arah lorong. Tanpa sebilah nyali pun untuk menyaksikan mahkluk apa nun di dalam lorong sana. Setelahnya, aku lintang pukang berlari ke rumah.
Dengan dada berdegup super kencang, aku mendentumkan pintu rumahku. Dan bersandar di daun pintu yang telah terkatup, aku merosotkan tubuhku ke lantai dan memandang kameraku. Aku merasakan bibirku bergetar keras. Lalu aku merutuki diri betapa pengecutnya aku. Takut-takut kutekan tombol pada kamera yang berfungsi untuk menampilkan foto-foto yang sudah diambil. Sesosok manusia siluman mengerikan yang bertengger dan menempel ringan secara vertikal di dinding lorong tampil di foto. Membelalakkan mataku dan hampir memberhentikan jantungku.
Aku menekan tombol off dengan susah payah karena tanganku bergetar hebat sekali. Aku menarik napas terus-menerus berusaha mendatangkan keberanian pada diriku. Takut sudah merajaiku. Mahkluk apa itu? Kalau dia adalah sejenis makhluk yang tak suka dirinya diabadikan dalam foto lalu dia marah dan mengejarku bagaimana? Siaal! Belum sempat aku menetralisir rasa takutku. Suara ketukan pintu melonjakkan tubuhku.
“Si… si… apaa?” tanyaku terbata. Sang pengetuk tak menjawab. Dia hanya mengetuk pintu rumahku itu tiga kali lagi.
Jangan-jangan ini mahkluk tadi. Kacau! Mati akuuu! Bisa-bisa besok aku yang jadi berita. Tidaaakkk!!!
“Si… si… siapa…? Kalau tidak menjawab tidak akan kubukakan pintu…”
“Ini aku, Megaa… Buka, Amoorr!”
Aku menarik napas lega, ah ternyata cuma Mega. Aku berdiri, menarik napas dalam dan mengeluarkannya melalui mulut. Merapikan rambut dengan sepuluh jariku dan menata-nata bajuku yang sedikit berantakan. Perlahan aku membuka pintu.
“Oh, kau Mega, ada apa malam-malam begini?”
“Boleh aku masuk dulu? Biar kuceritakan di dalam?”
Aku mengangguk keras, “Oh tentu saja!” untuk kau bidadariku apa yang tidak kuberi.
Mega duduk dengan santai di satu-satunya sofa, di ruang depan rumahku. Dia sungguh seksi malam ini. Ah andai saja… Upsss… buyarkan pikiran kotor, Amorrr!!!
“Aku boleh lihat kameramu itu tidak?”
“Ini?” aku mengangkat kamera yang sejak tadi kugenggam. “Untuk apa?”
“Tidak ada apa-apa, cuma mau lihat saja, boleh kan??”
“Boleh saja, tapi tidak ada yang penting, cuma foto mayat yang tadi pagi. Ah sudahlah tidak usah nanti kau jadi tidak selera makan. Kubuatkan kopi yaa??”
Aku berbalik, Mega berdiri dan menyentuh pundakku dari belakang. Sentuhannya dingin sekali, sedingin es yang menusuk hingga ke kulit, padahal aku sedang memakai jaket tebal. Aku berbalik, betapa tercekat saat mendapati wajahnya yang pucat dan tersenyum aneh. Dan senyum itu bukan senyuman Mega yang manis seperti biasa. Senyum itu mengerikan.
“Benarkah tidak ada foto yang penting?” suaranya lembut, namun mampu membangkitkan bulu kuduk.
“Ten… tentu saja benar…,” jawabku terbata. Mega membebat langkahku, ia sudah di depanku kini.
“Foto yang baru kauambil beberapa menit yang lalu itu bagaimana?”
Jepp!! Jantungku seolah terhenti, bagaimana Mega bisa tahu?? Sudah kuyakinkan tidak ada siapa pun di sana tadi.
“Maksudmu??”
Mega tak menjawab pertanyaanku, ia lalu menarik paksa kamera di tanganku. Menekan tombol on dan menunjukkan foto seram itu tadi padaku.
“Ini!!” suara Mega meninggi dan berubah serak.
“Bagaimana kau bisa tahu??” Rasa takut dan khawatir kembali memelukku.
“Karena yang kau foto ini adalah AKUUU!!!” tubuh Mega serta merta membiru, matanya merah menyala, dua bilah taring menyilau dari sela bibirnya. Kuku-kukunya hitam memanjang.
“Mee… mee… gaaa?”
Aku beringsut mundur, mataku tidak mempercayai ini dan berharap ini hanya mimpi aneh tentang Mega yang selama ini kualami tiap malam karena aku terlalu mencintainya diam-diam. Aku menggelengkan kepala, menutupnya sebentar dan membuka lagi. Sosok menyeramkan itu masih ada di sana. Kuku tajamnya melayang di udara seinci di depan leherku.
“Kauuu… haruuus matiiii…,” suara Mega sudah berbeda, serak dan dalam.
“Megaaa… ini akuuu… aku mencintaimu sayang… bahkan jika kau adalah seorang silumaann!!”
Ah, apa tadi itu? Aku menyatakan cinta dalam keadaan seperti ini? Bodoh!
“Tidaaakk… tidaakk ada yang boleh mengetahui keberadaan kamii… itu berbahaya!”
“Kamii? Masih ada yang sepertimu di luar sana?”
“Yaaa… Maafkan aku Amooorrr… ini adalah balasan sepadan untuk orang yang selalu ingin tahuuu…”
Mega menebaskan kuku tajamnya ke leherku. Aku roboh dengan kepala nyaris putus. Darahku muncrat kemana-mana, lalu darah mengalir deras dari robekan leherku. Mataku membelalak dengan mulut menganga. Sungguh mengerikan, persis seperti kondisi mayat pria yang kufoto tadi pagi.
Mega menerobos masuk ke deretan polisi yang sudah berkerumun di rumahku. Mengambil gambarku yang tewas mengenaskan dan mewawancarai beberapa polisi. Ia tersenyum di atas mayatku sebelum berlalu pergi untuk menulis berita kematianku. Dan lagi-lagi dialah wartawan pertama yang berada di lokasi kejadian untuk meliput berita. Dasar siluman keji.
Medan, 2013
Cerpen Karangan: Yunita R Saragi
Facebook: Yunita Ramadayantie SaragiFB BILL LAUDRIX

CINTA ITU KESETIAAN by Cerpenmu.com/cerpen.of.the.month

Cinta Itu Kesetiaan


 

Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 15 December 2014
“Ya ampun. Kok hari ini tugasnya makalah semua. Jadi ribet ini bawanya.” Talitha menggerutu di sepanjang perjalanan menuju perpustakaan. Sesekali Ia membenahi letak tumpukan makalah di tangan kirinya. Tak disangka saat Talitha membenahi makalahnya untuk kesekian kali, tubuhnya membentur sesosok tubuh di hadapannya yang berhenti tiba-tiba. Makalah Talitha berserakan.
“Yah jatuh! Huft..” Talitha mempoutkan bibirnya lucu lalu berjongkok memunguti semua makalah yang jatuh tak jauh darinya.
“Maaf ya.” cowok yang tadi membuat makalahnya terjatuh kini ikut berjongkok membantunya. Talitha mendongak dan mengangguk polos.
“Talitha Kirani. Tingkat I.” cowok itu mengeja nama dan tingkat yang tertera di salah satu makalah Talitha. “Gak apa-apa kan, Dek?” lanjutnya.
“Gak apa-apa kok. Kak Samuel?” Talitha tersenyum tipis lalu berdiri dan mengambil alih makalah dari tangan
“Iya. Samuel…”
“Samuel Andra Winata. Tingkat 3 Fakultas Kedokteran. Forward andalan tim basket putra UHO dan cadangan center tim basket putra Provinsi Sulawesi Tenggara. Cowok keturunan Manado-Chinese. Cowok paling populer di UHO. Right?” Samuel tertawa renyah mendengar rentetan kalimat yang keluar dari bibir mungil Talitha.
“Segitu populernya ya, Dek? Kayaknya enggak deh. Aku kan bukan artis, Dek.” Talitha mengangkat bahu dan berlalu. Samuel mengikuti langkah Talitha.
“Kata Dina sih gitu. Dina kan ngefans sama kakak.” Samuel menggelengkan kepala. Dia nggak suka ada yang ngaku-ngaku fansnya. Talitha menghentikan langkahnya, membuat Samuel terpaku kebingungan. Talitha berbalik dengan senyum lebar yang merekah di bibirnya.
“Aku manggilnya Kak Sammy aja ya?” Samuel terdiam. Sedetik kemudian tawanya meledak. Membuat Talitha dan belasan mahasiswi yang berada di sekitar terpesona. Wajahnya itu lohh, cute abis!! Tersadar kalau dirinya menjadi pusat perhatian, Samuel tersipu malu dan menutup bibirnya. Kini giliran Talitha yang terkikik geli.
“Kak Sammy ucul kalau lagi malu. Pipinya jadi pink-pink gitu ihh~ Gemess.” spontan Talitha mencubit pipi Samuel. Untuk beberapa saat Samuel terpaku merasakan getaran-getaran halus yang mencuat dari dalam hatinya. Talitha tak menyadari perubahan pada wajah Samuel. Ia masih saja mengomentari pipi Samuel yang merona.
Samuel menggelengkan kepala aneh. Salah tingkah tepatnya. Untungnya, Prof. Abdillah menyelamatkannya.
“Samuel, ngapain kamu masih di sini? Saya mau masuk ke kelas tingkat 2. Jangan coba-coba biarkan saya mengajar sendiri tanpa assisten ya!” Samuel nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Professor Abdillah memang meng-istimewa-kan Samuel. Bukan karena Samuel popular, tapi IP Samuel selalu jadi yang paling tinggi di antara teman-teman seangkatannya. Yang paling penting, Samuel adalah Assisten Prof. Abdillah.
“Talitha Kirani, kamu ngapain liatin saya begitu? Naksir?” Talitha mengangkat 2 jari sekaligus memasang wajah sakit perut. Ekspresi wajah yang sukses membuat dosen over PD yang berumur setengah abad lebih itu tersenyum sinis.
“Engg. Saya permisi ya, Professor. Kak Sammy, aku pergi dulu ya. See ya, brotha!” Talitha melangkahkan kaki menuju tujuan utamanya, perpustakaan.
Samuel mendriblle bola basket dengan penuh perasaan. Bayangan Talitha menari-nari di benaknya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman seraya menggelengkan kepala. Tapi, Samuel tak sadar jika ia mengeluarkan senyuman mautnya di tempat yang salah.
“Aaaaa… Kak Samuel senyum. I LOVE YOU SO MUCH, Kak!!”
“Kak Samuel!! Please be mine, kak.”
Samuel ternganga. Bola basketnya menggelinding entah kemana. Teriakan tadi menyadarkannya akan sesuatu. Gadis-gadis ababil itu! Oh Tuhan, ia harus segera menyingkir dari lapangan basket sebelum gadis-gadis itu menggila lagi seperti saat latihan kemarin. Samuel bergegas melangkahkan kaki panjangnya ke mana saja, yang penting jauh dari gadis-gadis tak waras yang setiap hari menggodanya dari sekitar lapangan basket.
“Kak Sammy!” suara manis nan merdu terdengar dari balik punggungnya. Talitha. Langkahnya terhenti. Samuel tersenyum memikirkan bagaimana bisa suara gadis yang baru saja ia dengar tadi pagi sudah bisa ia hafal di luar kepala. Ia berbalik menatap Talitha yang sedang mengatur nafas. Tampaknya Talitha berlari mengejar Samuel dengan kakinya yang mungil.
“Kak Sammy jalannya cepet banget ihh~ Coba kaki aku panjang-panjang kayak kakinya kakak.” Talitha sibuk mengaduk-aduk tasnya dan sesekali membenahi poninya yang menutupi mata.
“Hehe. Sory, Tha. Aku lagi kabur dari temen-temen kamu yang ababil itu tuh. Nyari tissue ya? Pake ini aja, Tha.” Samuel menjulurkan handuk kecil yang sedari tadi dipegangnya. Talitha nyengir kuda. Tangannya terulur mengambil handuk yang ditawarkan Samuel padanya.
“Kak Sammy nggak suka ya sama cewek-cewek itu? Pantes aja kak Sammy pergi. Padahal aku lagi fokus liat kak Sammy latihan sendiri. Emang kenapa sih, kak? Mereka kan cantik en modis. Cocok sama kakak.” Talitha mengeluarkan unek-uneknya tanpa menyadari raut muka Samuel yang berubah masam.
“Kamu itu kecil-kecil udah kepo ya! Mana cerewet lagi.” Samuel mengacak gemas rambut Talitha.
“Enak aja bilangin aku masih kecil. Aku udah gede, Kak. Udah jadi mahasiswi ini.” protes Talitha.
Samuel terbahak. Tangannya meraih lengan Talitha lalu menyeretnya ke kantin. Sebagai permintaan maafnya, Samuel mengizinkan Talitha memesan makanan sepuasnya dan Samuel yang membayar.
5 bulan kemudian…
Samuel menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Pukul 14.30. Samuel terkekeh menyadari kebodohannya. Ia dan Talitha janjian untuk bertemu pukul 15.00, tapi ia datang terlalu cepat. Rindunya akan tawa dan kekonyolan Talitha membuatnya linglung. Sudah 2 minggu ia tak pernah melihat wajah manis gadis yang sudah berhasil mengacaukan kerja system saraf otaknya itu. 2 minggu ini ia habiskan hanya untuk terfokus pada tim basket UHO. Dan 2 minggu ini, ia terpaksa hanya menekan kerinduan pada Talitha dengan bertukar kata via BBM.
Kling!
Samuel tersenyum. Gadis yang ada dalam pikirannya kini sedang melangkah menuju ke arahnya. Masih sama! Gaya berpakaian yang casual dan sporty tetap jadi ciri khas seorang Thalita. Samuel bahkan belum pernah melihat gadis itu berpenampilan fenimim. Gadis itu pernah bilang “Let me just to be me. Aku nyaman dan orang-orang yang menyayangiku juga nyaman.”
“Gimana IP kamu, Tha? Bagus? Kamu puas?” Samuel memberondong Talitha dengan pertanyaan begitu Talitha duduk di sebelahnya. Talitha hanya mengangguk. Sebuah senyum tercetak indah di bibir merahnya. Samuel balas tersenyum lega.
“Besok pagi free kan, Tha? Kamu nonton ya pertandingan final aku. Please, Tha!” Samuel menatap orang-orang yang berlalu lalang di sekitar Taman Kota. Pikirannya kembali ke beberapa hari yang lalu, saat Talitha selalu menolak menonton pertandingan basket antar provinsi se-Indonesia Timur yang digelar di Kendari. Samuel takut ia akan menerima jawaban yang mengecewakan lagi kali ini.
“Kak Sammy, kok diam? Jawaban aku salah lagi ya?”
“Eh. Apa yang salah? Emang kamu tadi jawab apa?” Samuel tergagap melihat Talitha menatapnya lekat-lekat. Debaran halus itu selalu muncul dalam dada Samuel ketika melihat cahaya yang memancar dari mata bulat yang indah milik Talitha.
“Kak Sammy kenapa sih? Kok aneh? Aku tadi bilang aku pasti datang.”
“Aku kangen kamu, Tha!”
Waktu seakan berhenti berputar. Tubuh Talitha menegang. Wajahnya memancarkan kepanikan yang amat sangat. Tapi sesegera mungkin ia menutupinya. Sementara Samuel ikut terdiam seolah merutuki bibirnya yang tidak bisa menahan kata-kata itu. Bodoh. Bodoh.
“Apa, kak?”
“Ah, enggak. Bukan apa-apa. Lupain aja, Tha. Btw aku harus pulang, Tha. Aku butuh istirahat. Kamu mau aku antar pulang sekalian?” Samuel menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Talitha menggeleng.
“Aku masih harus ke KONI, kak. Ada urusan. Kakak pulang aja duluan.”
“Ya udah. Kamu hati-hati ya. Besok harus datang!”
“Sipp, kak. Istirahat baik-baik.”
Samuel beranjak pergi dengan Honda CBR-nya setelah taksi yang membawa Talitha ke KONI meluncur ke tujuan.
“Udah ketemu Samuel, Tha?” Talitha mengangguk seraya menerima helm yang diberikan oleh cowok berpostur tegap dan berlesung pipi di hadapannya.
“Besok pertandingan finalnya kak Sammy, Gil. Temani aku nonton ya? Sekalian aku kenalin kamu sama kak Sammy.” Gilbar mengusap puncak kepala gadisnya lalu mengangguk. Cowok yang sudah hampir 3 tahun menemani Talitha itu baru tiba dari pendidikan militer sejak 4 hari yang lalu dan masih hobi berlatih renang. Jadilah Talitha selalu menemani kekasihnya ke KONI.
“Ayo naik. Aku antar kamu pulang ke kost kamu. Nanti malam kita jalan ya, Litha sayangku?” Gilbar mengedipkan matanya genit. Talitha terkekeh dan memukul lengan Gilbar. Dua sejoli yang sedang dimabuk rindu meninggalkan pelataran parkir KONI yang menjadi saksi bisu konyolnya tingkah mereka.
Samuel masih belum bisa memejamkan matanya walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.35. Bibirnya bergerak seolah sedang menghafal sesuatu.
“Tha, aku sayang kamu. Sejak pertama aku ketemu kamu, aku langsung suka cara kamu ketawa, senyum, marah. Semuanya. Would you be ma’ gal, Talitha?”
Samuel tertawa pelan. Senyumnya merekah membayangkan Talitha akan mengangguk atau menjawab “Yes, I will”. Menyadari Talitha selalu ada untuknya selama 6 bulan terakhir membuatnya berpikir tak bisa lagi bernafas tanpa gadis itu.
Perlahan Samuel mulai memejamkan matanya. Dadanya turun naik teratur. Samuel tertidur lelap di tengah kegelisahannya menunggu sang fajar menghiasi langit pagi.
“UHO. UHO. UHO.” teriakan terus bergema di dalam gedung tempat pertandingan berlangsung. Mata Samuel menatap penonton, berharap di salah satu kursi telah duduk gadis pujaan hatinya. Talitha. Samuel menghembuskan nafas kasar. Ia belum menemukan apa yang ia cari.
“Kak Sammy, semangat!!!” teriakan melengking khas Talitha merasuk ke dalam rongga telinga Samuel dan menyalurkannya ke saraf bibir yang membuat sebuah senyuman manis bertengger disana. Talitha melambaikan tangannya dengan semangat lalu kembali duduk.
“Siapa cowok yang duduk di sebelah Talitha? Keliatannya akrab. Hmm. Pasti sepupu atau sahabatnya. Think the positive, Sam. She’s will be yours. Fighting!” Samuel menyemangati dirinya sendiri dalam hati.
Pertandingan berlangsung sengit. Tim UNHAS ternyata lebih unggul daripada tim UHO. UNHAS memaksa UHO takluk dengan skor akhir 56-60.
Talitha menuju ruang ganti tim UHO dengan tergesa. Jantung Talitha nyaris mencelos ketika tepat di depan pintu, Samuel muncul tiba-tiba dengan wajah kusut.
“Kak Sammy mainnya bagus. Menang kalah itu biasa. Yang penting jangan putus asa aja, Kak. Be strong ya? Kalau semua urusan kakak udah selesai, temui aku di KopKit. Aku tunggu, Kak.” Talitha menepuk lengan Samuel pelan, menyalurkan semua semangat yang ia punya untuk orang yang sangat dekat dengannya itu. Talitha berbalik, melangkah meninggalkan Samuel yang masih terdiam. Samuel menahan pergelangan tangan Talitha, membuat gadis itu refleks berbalik dan mengeluarkan tatapan bingung.
“Aku sayang kamu, Tha.” Talitha tersenyum mendengar kata-kata tulus yang keluar dari bibir Samuel. Tanpa menjawab, Talitha meneruskan langkahnya dan menghilang di kerumunan pemain UNHAS yang akan segera kembali ke hotel.
Samuel melangkah mendekati Talitha yang sedang bercengkrama dengan ‘sepupu’-nya. Talitha belum menyadari Samuel berdiri di depan mereka.
“Talitha.” Talitha memandang lurus. Tampak olehnya Samuel berdiri dengan senyuman yang terus terlukis di wajahnya.
“Ayo duduk, Kak.” Samuel menurut, sesekali matanya melirik ‘sepupu’ Talitha. Talitha yang baru sadar langsung mengerti.
“Ohh. Iya, kak. Kenalin dulu. Ini Gilbar, tunangan aku. Dia baru pulang dari pendidikan 5 hari yang lalu. Gil, ini Kak Sammy. Dia yang selama ini bantu aku di kampus.” Gilbar menyodorkan tangannya ke arah Samuel. Samuel membalasnya ragu. Matanya menatap Talitha nanar.
“Bro, bisa minta tolong nggak? Antar Talitha pulang ya. Pagi ini aku harus piket soalnya, buru-buru nih.” Samuel mengangguk pasrah. Ini yang terakhir, pikirnya. Gilbar dan Talitha tersenyum sumringah.
Gilbar bergegas beranjak pergi dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Talitha. Darah Samuel bergejolak. Hatinya seakan tak rela melihat kemesraan yang ditunjukkan Gilbar pada Talitha. Setelah Gilbar menghilang dari pandangan Samuel dan Talitha, suasana hening.
“Kenapa nggak pernah ngomong, Tha?” Samuel menatap sendu cincin yang melingkar indah di jari manis Talitha. Samuel memilih buta daripada harus melihat kenyataan ini.
“Tentang apa, kak?”
“Apa kamu nggak pernah tau apa yang aku rasain, Tha? Aku sayang sama kamu lebih dari sekedar rasa sayang senior ke juniornya. Tapi ternyata kamu udah tunangan. Kenapa nggak ngomong dari awal, Tha? Aku jadi berharap sama kamu. Aku terlambat.”
“Kak Sammy, sory! Aku kenal Gilbar 3 tahun yang lalu. Aku dan dia udah lama bersama, kami udah terlalu dekat. Kami nggak bisa dipisahkan, kak. Aku itu Gilbar. Gilbar itu aku. Seandainya aku ketemu kakak sebelum aku ketemu Gilbar, mungkin aku bisa punya rasa yang sama dengan apa yang kakak rasain sekarang. Tapi sayang, rasaku cuma satu dan itu udah buat Gilbar.”
“Nggak apa-apa, Tha. Aku yang salah. Aku nggak pernah nanya apa kamu udah punya seseorang yang mengisi hati kamu. Aku hanya memikirkan bagaimana untuk terus memupuk rasa ini dan mengabaikan resikonya. Gilbar beruntung bisa dapat cewek langka kayak kamu, Tha. Harusnya kamu dimuseumkan aja.” Samuel dan Talitha tergelak dalam rinai airmata yang jatuh dari sudut mata masing-masing.
“Kak Sammy itu perfect. Kakak pantas bahagia dengan cewek yang lebih baik dari aku.”
Samuel menyesap cappuccino miliknya yang mulai dingin. Ia sadar, ia tak pernah berhak merebut Talitha yang begitu setia dari hati Gilbar. Samuel ingin bersikap jantan. Selama ini, ia tak pernah sedih jika kehilangan seorang gadis. Namun kali ini, hatinya perih. Talitha mungkin sudah menunjukkan setianya pada sang tunangan, tapi cinta Samuel pada Talitha pasti sulit untuk dikubur. Talitha menepuk lengan Samuel, mengajaknya untuk pulang. Sebelum memacu CBR-nya, Samuel menengadah menatap langit. Mendung. Semendung wajah dan hati Samuel.
Cerpen Karangan: Luh Ayu Ratnawati
Ini merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di:  untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!
Cerpen ini masuk dalam kategori: Cerpen Cinta Segitiga Cerpen Patah Hati Cerpen Remaja